Friday, January 21, 2011

Artikel: Kiat-Kiat Mempererat Cinta Suami Istri


Senin, 07 September 2009
Kiat-Kiat Mempererat Cinta Suami Istri


Oleh: Fariq Gasim Anuz

Ada kejadian, seorang laki-laki sebelum menikah menginginkan istri yang cantik parasnya dan beberapa kriteria lainnya. Tetapi pada saat pernikahan, dia mendapatkan istrinya sangat jauh dari kriteria yang ia tetapkan. Subhanallah! Inilah jodoh, walaupun sudah berusaha keras, tetapi jika Allah menghendaki lain, semua akan terjadi. Pada awalnya ia terkejut karena istrinya ternyata kurang cantik, padahal sebelumnya sudah nazhar (melihat) calon istrinya tersebut. Sampai ayah dari pihak suami menganjurkan anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut.

Tetapi kemudian ia bersabar. Dan ternyata ia mendapati istrinya tersebut sebagai wanita yang shalihah, rajin shalat, taat kepada orang tuanya, taat kepada suaminya, selalu menyenangkan suami, juga rajin shalat malam.
Pada akhirnya, setelah sekian lama bergaul, sang suami ini merasa benar-benar puas dengan istrinya. Bahkan ia berpikir, lama-kelamaan istrinya bertambah cantik, dan ia sangat mencintai serta menyayanginya. Karena kesabaranlah Allah menumbuhkan cinta dan ketentraman. Ternyata faktor fisik tidaklah begitu pokok dalam menentukan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga, walaupun bisa juga ikut berperan menentukan.

Berikut ini kami bawakan kiat-kiat praktis sebagai ikhtiar merekatkan cinta kasih antara suami istri, sehingga keharmonisan bisa tercipta.

Pertama.
Saling memberi hadiah
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah bersabda:
"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling cinta mencintai."
(HR. Bukhari dlm Adabul Mufrad, dihasankan oleh Syaikh al Albani)

Memberi hadiah merupakan salah satu bentuk perhatian seorang suami kepada istrinya, atau istri kepada suaminya. Terlebih bagi istri, hadiah dari suami mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Hadiah tidak harus mahal, tetapi sebagai simbol perhatian suami kepada istri.
Seorang suami yang ketika pulang membawa sekedar oleh-oleh kesukaan istrinya, tentu akan membuat sang istri senang dan merasa mendapat perhatian. Dan seorang suami, semestinya lebih mengerti apa yang lebih disenangi oleh istrinya. Oleh karena itu, para suami hendaklah menunjukkan perhatian kepada istri, diungkapkan dengan memberi hadiah meski sederhana.

Kedua.
Mengkhususkan waktu untuk duduk bersama
Jangan sampai antara suami istri sibuk dengan urusan masing-masing, dan tidak ada waktu untuk duduk bersama. Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh bin Baaz. Ada seorang pemuda tidak memperlakukan istri dengan baik. Yang menjadi penyebabnya, karena ia sibuk menghabiskan waktunya untuk berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan studi dan lainnya, sehingga meninggalkan istri dan anak-anaknya dalam waktu lama.

Masalah ini ditanyakan kepada Syaikh, apakah diperbolehkan sibuk menuntut ilmu dan sibuk beramal dengan resiko mengambil waktu yang seharusnya dikhususkan untuk isteri?
Syaikh bin Bazz menjawab pertanyaan ini. Beliau menyatakan, tidak ragu lagi, bahwa wajib atas suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik berdasarkan firman Allah:
"Pergaulilah mereka dengan baik." (QS. An Nisa':19)
Juga sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam kepada Abdullah bin 'Amr bin Ash, yaitu manakal sahabat ini sibuk dengan shalat malam dan sibuk dengan puasa, sehingga lupa dan lalai terhadap istrinya, maka Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam berkata:
"Puasalah dan berbukalah. Tidur dan bangunlah. Puasalah sebulan selama tiga hari, karena sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat. Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri memiliki hak dan engkau juga mempunyai kewajiban terhadap isterimu, juga kepada tamumu. Maka, berikanlah haknya setiap orang yang memiliki hak." (Muttafaqun 'alaihi).

Banyak hadits yang menunjukkan adanya kewajiabn agar suami memperlakukan isteri dengan baik. Oleh karena itu, para pemuda dan para suami hendaklah memperlakukan isteri dengan baik, berlemah lembut sesuai dengan kemampuan. Apabila memungkinkan untuk belajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah, maka lakukanlah di rumah, sehingga disamping dia mendapatkan ilmu dan menyelesaikan tugas, dia juga dapat membuat isteri dan anak-anaknya senang. Kesimpulannya, adalah disyari'atkan atas suami mengkhususkan waktu-waktu tertentu, meluangkan waktu untuk isterinya, agar sang isteri merasa tentram, memperlakukan isterinya dengan baik; terlebih lagi apabila tidak memiliki anak.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya. Dan saya adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku."
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam juga bersabda:
"Orang yang paling sempurna imannya adalah yang tebaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian." (HR. Tirmidzi)
Sebaliknya, seorang istri juga disyari'atkan untuk membantu suaminya, misalnya menyelesaikan tugas-tugas studi ataupun tugas kantor.
Hendaklah dia bersabar apabila suaminya memiliki kekurangan karena kesibukannya, sehingga kurang memberikan waktu yang cukup kepada isterinya.
Berdasarkan firman Allah, hendaklah antara suami dan istri saling bekerjasama :
"Tolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa." (QS. Al Maidah :2)

Juga berdasarkan keumuman sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
"Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya." (Muttafaqun 'alaihi, diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah)

Nasihat Syaikh bin Baaz tersebut ditujukan kepada kedua belah pihak. Kepada suami hendaklah benar-benar tidak sampai melalaikan, dan kepada istri pun untuk bisa bersabar dan memahami apabila suaminya sibuk bukan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Untuk para isteri, bisa juga mengoreksi diri mereka.
Mungkin diantara sebab suami tidak kerasan di rumah karena memiliki isteri yang sering marah, selalu bermuka masam dan ketus apabila berbicara.

Ketiga.
Menampakkan wajah yang ceria
Di antara cara untuk mempererat cinta kasih, hendaklah menampakkan wajah yang ceria. Ungkapan dengan bahasa wajah, mempunyai pengaruh yang besar dalam kegembiraan dan kesedihan seseorang. Seorang isteri akan senang jika suaminya berwajah ceria, tidak cemberut. Secara umum Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Sedikit pun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria." (HR. Muslim)

Begitu pula sebaliknya, ketika suami datang, seorang isteri jangan sampai menunjukkan wajah cemberut atau marah. Meskipun demikian, hendaknya seorang suami juga bisa memahami kondisi isteri secara kejiwaan. Misalnya, isteri yang sedang haidh atau nifas, terkadang melakukan tindakan yang menjengkelkan. Maka seorang suami hendaklah bersabar.

Ada pertanyaan dari seorangb isteri yang disampaiakan kepada Syaikh bin Baaz, sebagai berikut:
Suami saya-semoga Allah memaafkan dia-, meskipun dia berpegang teguh dengan agama dan memiliki akhlak yang tinggi serta takut kepada Allah, tetapi dia tidak memiliki perhatian kepada saya sedikitpun. Jka di rumah, ia selalu berwajah cemberut, sempit dadanya dan terkadang dia mengatakan bahwa sayalah penyebab masalahnya. Tetapi Allah lah yang mengetahui bahwa saya-alhamdulillah-telah melaksanakan hak-haknya. Yakni menjalankan kewajiban saya sebagai isteri. Saya berusaha semaksimal mungkin dapat memberikan ketenangan kepada suami dan menjauhkan segala hal yang membuatnya tidak suka.
Saya selalu sabar atas tindakan-tindakannya terhadap saya.
Setiap saya bertanya sesuatu kepadanya, dia selalu marah, dan dia mengatakan bahwa ucapan saya tidak bermanfaat dan kampungan. Padahal perlu diketahui, jika kepada teman-temannya, suami saya tersebut termasuk murah senyum. Sedangkan terhadap saya, ia tidak pernah tersenyum; yang ada hanyalah celaan dan perlakuan buruk. Hal ini menyakitkan dan saya merasa sering tersiksa dengan perbuatannya. Saya ragu-ragu dan beberapa kali berpikir untuk meninggalkan rumah.

Wahai Syaikh, apabila saya meninggalkan rumah dan mendidik sendiri anak-anak saya dan berusaha mencari pekerjaan untuk membiayai anak-anak saya sendiri, apakah saya berdosa? Ataukah saya harus tetap tinggal bersama suami dalam keadaan seperti ini, (yaitu) jarang berbicara dengan suami, (ia) tidak bekerja sama dan tidak merasakan problem saya ini?


Di jawab oleh Syaikh bin Baaz: "Tidak diragukan lagi, bahwa kewajiban atas suami isteri ialah bergaul dengan baik dan saling menampakkan wajah penuh dengan kecintaan.
Dan hendaklah berakhlak dengan akhlak yang mulia, (yakni) dengan menampakkan wajah ceria, berdasarkan firman Allah:
"Pergaulilah mereka dengan baik." (QS. An Nisa:19)
Juga dalam surat Al Baqarah ayat 228:
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isteri." (QS. Al Baqarah :228)

Arti kelebihan disini, secara umum laki-laki lebih unggul daripada wanita. Tetapi nilai-nilai yang ada pada setiap individu di sisi Allah, tidak berarti laki-laki pasti derajatnya lebih tinggi. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Dan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
"Kebaikan itu adalah akhlak yang baik." (HR. Muslim)
Dan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
"Sedikitpun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria." (HR. Muslim)

Juga berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
"Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian." (HR. Tirmidzi)

Ini semua menunjukkan, bahwa motivasi berakhlak yang baik dan menampakkan wajah ceria pada saat bertemu serta bergaul dengan baik kepada kaum Muslimin, berlaku secara umum; terlebih lagi kepada suami atau isteri dan kerabat. Oleh karena itu, engkau telah berbuat baik dalam hal kesabaran dan ketabahan atas penderitaanmu, yaitu menghadapi kekasaran dan keburukan suamimu. Saya berwasiat kepada dirimu untuk terus meningkatkan kesabaran dan tidak meninggalkan rumah di karenakan hal itu. Insya Allah akan mendatangkan kebaikan yang banyak. Dan akibat yang baik, insya Allah diberikan kepada orang-orang yang sabar.

Banyak ayat yang menunjukkan, barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya balasan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Allah akan memberi ganjaran yang besar tanpa hisab kepada orang-orang yang sabar.
Tidak ada halangan dan rintangan untuk bercanda dan bergurau, serta mengajak bicara suami dengan ucapan-ucapan yang dapat melunakkan hatinya, dan yang dapat menyebabkan lapang dadanya dan menumbuhkan kesadaran akan hak-hakmu. Tinggalkanlah tuntutan-tuntutan kebutuhan dunia (yang tidak pokok) selama sang suami melaksanakan kewajiban dengan memberikan nafkah dari kebutuhan-kebutuhan pokok, sehingga ia menjadi lapang dada dan hatinya tenang. Engkau akan merasakan balasan yang baik, insya Allah.

Semoga Allah memberikan taufik kepada dirimu untuk mendapatkan kebaikan dan memperbaiki keadaan suamimu. Semoga Allah membimbingnya kepada kebaikan dan memperbaiki akhlaknya. Semoga Allah membimbingnya untuk dapat bermuka ceria dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada isterinya dengan baik. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik yang diminta, dan Dia adalah pemberi hidayah kepada jalan yang lurus. (Dinukil dari buku Fatawa Islamiyyah).

Ini menunjukkan, bahwa seorang wanita diperbolehkan untuk mengeluh dan menyampaikan problemnya kepada orang yang alim, atau orang yang dianggap bisa menyelesaikan masalahnya. Hal ini tidak sama dengan sebagian wanita yang sering, atau suka menceritakan rahasia rumah tangganya, termasuk kelemahan dan keburukan suaminya kepada orang lain, tanpa bermaksud menyelesaikan masalahnya.

Sehubungan dengan permasalahan ini, Syaikh Utsaimin mengatakan, bahwa apa yang disampaikan oleh sebagian wanita yang menceritakan keadaan rumah tangganya kepada kerabatnya, bisa jadi (kepada) orang tua isteri atau kakak perempuannya, atau kerabat yang lainnya, bahkan kepada teman-temannya, (hukumnya) adalah diharamkan. Tidak halal bagi seorang wanita membuka rahasia rumah tangganya dan keadaan suaminya kepada seorangpun. Karena seorang wanita yang shalihah adalah yang bisa menjaga dan memelihara kedudukanmartabat suaminya. Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah memberitakan, seburuk-buruk manusia kedudukannya disisi Allah pada hari Kiamat ialah seorang laki-laki yang suka menceritakan keburukan isterinya atau seorang wanita yang menceritakan keburukan suaminya.
Meski demikian, jangan dipahami bahwa secara mutlak seorang wanita tidak boleh menceritakan keburukan seorang suami. Karena, pada masa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam pun ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan berkata: "Ya, Rasulullah. Suami saya adalah orang yang kikir, tidak memberi nafkah yang cukup bagi saya. Bolehkah saya mengambil darinya tanpa sepengetahuannya untuk sekedar mencukupi kebutuhan saya dan anak saya?"
Mendengar penuturan orang ini, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam menjawab:
"Ambillah nominal yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu." (Muttafaqun 'alaih)

Keempat.
Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya
Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya, baik ketika hendak pergi keluar rumah ataupun ketika pulang. Penghormatan itu hendaklah dilakukan dengan mesra. Dalam beberapa hadits diriwayatkan, ketika hendak pergi shalat, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam mencium isterinya tanpa berwudhu lagi dan langsung shalat. Ini menunjukkan, bahwa mencium isteri dapat mempererat hubungan antara suami isteri, meluluhkan kebekuan ataupun kekakuan antara suami isteri. Tentunya dengan melihat situasi, jangan dilakukan di hadapan anak-anak.

Perbuatan sebagian orang ketika seorang isteri menjemput suaminya yang datang dari luar kota atau dari luar negeri, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri di tempat umum. Demikian ini tidak tepat. Memberikan penghormatan dengan hangat tidak mesti dengan mencium pasangannya. Misalnya, seorang suami dapat memanggil isterinya dengan baik, tidak menjelek-jelekkan keluarganya, tidak menegur isterinya dihadapan anak-anak mereka. Atau seorang isteri, bila melakukan penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di depan pintu. Apabila suami hendak bepergian, isteri menyiapkan pakaian yang telah disetrika dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.

Suami hendaknya menghormati isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri secara seksama. Sebab terkadang, ada sebagian suami, jika isterinya berbicara, ia justru sibuk dengan handphonenya mengirim sms atau sambl membaca Koran. Dia tidak serius mendengarkan ucapan isterinya. Dan jika menanggapinya, hanya dengan kata-kata singkat. Jika isteri mengeluh, suami mengatakan "hal seperti ini saja dipikirkan!"
Meskipun sepele atau ringan, tetapi hendaklah suami menanggapinya dengan serius, karena bagi isteri mungkin merupakan masalah yang besar dan berat.

Kelima.
Hendaklah memuji pasangannya
Di antara kebutuhan manusia adalah keinginan untuk di puji- dalam batas- yang wajar. Dalam masalah pujian ini, para ulama telah menjelaskan, bahwa pujian diperbolehkan atau bahkan dianjurkan dengan syarat-syarat: untuk memberikan motivasi, pujian itu diungkapkan dengan jujur dan tulus, dan pujian itu tidak menyebabkan orang yang dipuji menjadi sombong atau lupa diri.
Abu Bakar As Siddiq radhiallahu amhu pernah di puji, dan dia berdoa kepada Allah: "Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku dengan apa yang mereka ucapkan. Jangan jadikan dosa bagiku dengan pujian mereka, jangan timbulkan sifat sombong. Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, dan ampunilah aku atas perbuatan-perbuatan dosa yang mereka tidak ketahui."
Perkataan ini juga di ucapkan oleh Syaikh Al Albani ketika beliau di puji-puji oleh seseorang dihadapan manusia. Beliau rahimahullah menangis dan mengucapkan perkataan Abu Bakar tersebut serta mengatakan: "Saya ini hanyalah penuntut ilmu saja".
Seorang isteri senang pujian dari suaminya, khususnya dihadapan orang lain, seperti keluarga suami atau isteri. Dia tidak suka jika suami menyebutkan aibnya, khususnya dihadapan orang lain. Jika masakan isteri kurang sedap jangan dicela.

Keenam.
Bersama-sama melakukan tugas yang ringan
Di antara kesalahan sebagian suami ialah, mereka menolak untuk melakukan sebagian tugas di rumah. Mereka mempunyai anggapan, jika melakukan tugas di rumah, berarti mengurangi kedudukannya, menurunkan atau menjatuhkan kewibawaannya di hadapan sang isteri. Pendapat ini tidak benar.
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam melakukan tugas-tugas di rumah, seperti menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya dan melakukan tugas-tugas di rumah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan terdapat dalam Jami'ush Shaghir.

Terlebih lagi dalam keadaan darurat, seperti isteri sedang sakit setelah melahirkan. Terkadang isteri dalam keadaan repot, maka suami bisa meringankan beban isteri dengan memandikan anak atau menyuapi anak-anaknya. Hal ini disamping menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan ikatan yang lebih erat lagi antara ayah dan anak-anaknya.

Ketujuh.
Ucapan yang baik
Kalimat yang baik adalah kalimat-kalimat yang menyenangkan.
Hendaklah menghindari kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Seorang suami yang menegur isterinya karena tidak berhias, tidak mempercantik diri dengan celak dimata, harus dengan ucapa yang baik. (Nasihat untuk akhwat yg berkeluarga atau ibu-ibu. Hendaknya wanita mempercantik diri dan berhias untuk suaminya. Yang terjadi, umumnya berdandan dan mempercantik diri kalau mau keluar rumah, atau kalau ada walimah, misalnya. Sedangkan di rumah, ia enggan mempercantik diri dan tampil seadanya. Padahal berdandan dan mempercantik diri untuk keluar rumah hukumnya haram.)

Misalnya dengan perkataan "Mengapa engkau tidak memakai celak?" Isteri menjawab dengan kalimat yang menyenangkan: "Kalau aku memakai celak, akan mengganggu mataku untuk melihat wajahmu".
Perkataan yang demikian menunjukkan ungkapan perasaan cinta isteri kepada suami. Ketika ditegur, ia menjawab dengan kalimat yang menyenangkan. Berbeda dengan kasus lain. Saat suami isteri berjalan-jalan di bawah bulan pernama, suami bertanya:"Tahukah engkau bulan purnama di atas?" Mendengar pertanyaan ini, sang isteri menjawab:"Apakah engkau lihat aku buta?"

Kedelapan.
Perlu berekreasi berdua tanpa membawa anak
Rutinitas pekerjaan suami di luar rumah dan pekerjaan isteri di rumah membuat suasana menjadi keruh. Sekali-kali diperlukan suasana lain dengan cara pergi berdua tanpa membawa anak. Hal ini sangat penting, karena bisa memperbaharui cinta suami isteri. Kita mempunyai anak, lantas bagaimana caranya? Ini memang sebuah problem. Kita cari solusinya, jangan menyerah begitu saja.
Bukan berarti setelah mempunyai anak banyak tidak bisa pergi berdua. Tidak! kita bisa meminta tolong kepada saudara, kerabat ataupun tetangga untuk menjaga anak-anak, lalu kita dapat pergi bersilaturahmi atau belanja ke toko dan lain sebagainya. Kemudian pada kesempatan lainnya, kita pergi berekreasi membawa isteri dan anak-anak.

Kesembilan.
Hendaklah memiliki rasa empati pada pasangannya

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Perumpamaan kaum mukminan antara satu dengan yang lainnya itu seperti satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lain pun ikut merasakannya sebagai orang yang tidak dapat tidur dan orang yang terkena penyakit demam." (HR. Muslim)
Ini berlaku secara umum kepada semua kaum muslimin. Rasa empati harus ada. Yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk kepada isteri atau suami. Jangan sampai suami sakit, terbaring ditempat tidur, isteri tertawa-tawa disampingnya, bergurau, bercanda. Begitu pula sebaliknya, jangan sampai karena kesibukan, suami kemudian kurang merasakan apa yang dirasakan oleh isteri.

Kesepuluh.
Perlu adanya keterbukaan
Keterbukaan antara suami dan isteri sangat penting. Di antara problem yang timbul di keluarga, lantaran antara suami dan isteri masing-masing menutup diri, tidak terbuka menyampaikan problemnya kepada pasangannya. Yang akhirnya kian menumpuk. Pada gilirannya menjadi lebih besar, sampai akhirnya meledak.
Inilah sepuluh tips untuk merekatkan hubungan suami isteri, sehingga biduk rumah tangga tetap harmonis dan tentram. Semoga bermanfaat, menjadi bekal keharmonisan keluarga.

Sumber:
http://assunnah-qatar.com/
Diposkan oleh Muslimah Cirebon di 21.14
 




Thursday, January 20, 2011

Kiat Mengatasi Trauma


By: M. Agus Syafii
Pernah ada seorang bapak separuh baya datang ke Rumah Amalia mengeluh karena kegelisahannya sudah membuatnya tidak bisa tidur, cemas & selalu berkeringat dingin. ia ingin menangis tanpa sebab, ketakutan yang tidak jelas apa yang telah membuatnya takut.  ketika memaksakan dirinya kerja, kepalanya sakit dan pengennya rebahan sampai oleh atasannya diberikan cuti untuk beristirahat. Ia merasakan kekosongan dalam jiwa, perasaan takut kehilangan dan takut mati seringkali muncul tiba-tiba. Semua proses yang dirasakan secara sadar bahkan dirinya bertanya, 'kenapa saya jadi seperti ini ya Mas Agus?' Sejak seminggu yang lalu ia sukar tidur, meski sudah mengantuk, mata tidak dapat dipejamkan. Setiap berangkat kantor tubuhnya terasa sakit semua. dadanya terasa nyeri. Dipagi hari ia mengalami 'bad mood'. Sekalipun dikantor banyak orang, ia merasa takut bertemu orang banyak, Suatu ketika diajak istrinya untuk kondangan, tiba-tiba ia merasa takut bertemu dengan banyak orang. Sampai harus meninggalkan istrinya kondangan sendirian.

Ternyata setelah ditanya kenapa hal itu bisa terjadi, ia menceritakan bahwa lima tahun yang lalu ia mengalami kecelakaan mobil. Kecelakaan itulah yang menyebabkan trauma berkepanjangan. Ketika trauma itu tersimpan rapi tidak ada orang yang bisa membantunya untuk mengeluarkan perasaan ketakutan pada saat itu. Tidak ada yang memberikan jalan keluar untuk memahami apa yang terjadi dan harus apa yang dilakukan untuk memahaminya. Semua orang beranggapan trauma itu sudah selesai karena ia sudah menunjukkan sudah tenang, sudah bisa tertawa dan bisa ngobrol santai. Tidak ada seorangpun yang tahu bahwa trauma itu masih tersimpan dalam ingatannya. Dan sekarang trauma itu muncul kembali. Ia menangis tanpa sebab, tiba-tiba dirinya merasa kosong, pernah seolah ada yang membisikkan untuk berlari ditengah jalan rayanya. kemampuan diluar kesadarannya itulah yang mulai mengontrol dirinya. cara berpikir dan emosinya. 

Trauma adalah peristiwa yang menakutkan, menyedihkan dan mengkhawatirkan, atau kejengkelan yang sangat luar biasa. Pada saat peristiwa itu terjadi sadar dirinya tidak memahami apa yang sedang terjadi atau ketidakmampuannya untuk menerima sebuah realitas seperti kehilangan orang yang dicintai atau karena perpisahan. Proses ketidakpahaman dan penolakan inilah yang membuat ketakutan-ketakutan terus berkembang sehingga reaksi akut berupa kecemasan, tenang, bayang-bayang masa lalu terus datang menghantui. Kalau sudah seperti itu yang yang paling penting dilakukan adalah perasaan menerima apa yang telah terjadi dan mensyukurinya kehidupan sebagai sebuah anugerah dari Allah akan mampu meredakan traumanya. Gunakan dzikir dengan menyebut Asma Allah untuk mengeluarkan semua perasaan yang tidak dapat dipahaminya itu. Berdzikir dengan menyebut dengan menyebut Asma Allah dalam beberapa hari ada perasaan tidaknyaman namun proses akan berlangsung sampai menuju ketenangan hati. Selanjutnya jadikanlah dzikir dengan menyebut Asma Allah sebagai kegiatan yang menyenangkan dalam kehidupan sehari-hari agar trauma tidak muncul kembali.

'Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.' (QS. ar-Raad : 28).

Wassalam,
M. Agus Syafii
http://agussyafii.blogspot.com/

Tuesday, January 11, 2011

Malaikat Misterius


Sambil menyeka keringat yang mengucur di dahinya, Ibu Rahmah (Bukan nama sebenarnya) dengan tekun menyapu trotoar sebuah jalan raya. Tampak beban hidup yang sangat berat menggelayuti pundaknya yang kurus.
Tak terasa air mata menggenangi pelupuk matanya saat teringat bahwa hari ini dia harus membayar uang sekolah anaknya yang sudah menunggak beberapa bulan. Tapi bagaimana mau membayar, sudah sejak tadi malam belum sebutir nasipun mengisi perutnya dan anak-anaknya.

Ibu Rahmah ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan sehingga dialah yang harus menghidupi dua anaknya yang masih kecil dengan menjadi petugas kebersihan. Gaji harian yang diterima sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Disetiap ayunan sapunya, dia berdoa kepada Allah agar selalu dikuatkan dari keinginan untuk meminta-minta dan godaan untuk mencuri. Sungguh sebuah kemuliaan diri yang patut dipuji.

Tenggelam dengan pekerjaannya, Ibu Rahmah tidak menyadari saat sebuah mobil mewah berhenti didekatnya. Turun seorang wanita muda berkerudung menghampirinya dan memberikan sebuah amplop warna putih pada Ibu Rahmah sambil berkata ;"Maaf Ibu, mohon diterima sedikit rezeki ini, mudah-mudahan dapat berguna buat Ibu."

Wanita muda itu bergegas pergi tanpa menoleh lagi meninggalkan Ibu Rahmah yang tertegun belum sempat berterima kasih.
Dengan tangan bergetar, Ibu Rahmah membuka amplop berwarna putih itu yang ternyata berisi beberapa lembar uang seratus ribuan.
Tangis Ibu Rahmah meledak... Terbayang dia bisa membayar uang sekolah anaknya, dia bisa membeli beras untuk dimasak dan membayar hutang di warung depan rumah.Hanya do'a yang diucapkannya berulang-ulang kepada Allah, memohon agar Allah menambahkan rezeki kepada wanita muda yang tak dikenalnya itu.

Ibu Rahmah larut dalam tangis do'a, terduduk di pinggir trotoar jalan tanpa menghiraukan tatapan mata heran para pejalan kaki yang lalu lalang..
**********
Kita dapat merasakan kebahagiaan yang dirasakan Ibu Rahmah bukan.? Tapi kita tidak tahu persis kebahagiaan apa yang dirasakan wanita muda misterius tadi.
Penasaran.? Ingin mencoba.?Kita dapat menjadi seperti wanita muda itu. Sangat banyak di pinggir jalan kita temui mereka yang tekun bekerja dan menjaga diri dari mengemis, memilih menjadi tukang sapu jalan, tukang parkir, tukang ojek, menjual es lilin atau apapun.
Berikanlah sedekah kita kepada mereka, tidak perlu berpikir lagi dan menengok ke belakang setelah memberikan. Mari kita bayangkan kalau sedekah yang kita berikan sama membantunya seperti sedekah yang diterima Ibu Rahmah.
Sangat bagus kalau bisa dalam jumlah besar, tapi kalau tidak sanggup, Rp.50.000,- sudah sangat membantu. Bukankah uang sebesar Rp.50.000,- itu bisa kita batalkan dari tiket nonton di bioskop, mengurungkan makan di Restoran Fast Food, mengundur beli CD Artis Favorit kita.?
Bayangkan, ada 120.000 lebih anggota group yang membantu 120.000 lebih "Ibu Rahmah" dan selalulah ingat, kebahagiaan tertinggi adalah "Kebahagiaan Spiritual" yaitu pada saat memberi, bukan pada saat menerima.
"Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".( Q.S.At Taubah.121 )
Selamat Bersedekah....
====
Tulisan ini dimuat dalam Buku "Ternyata Sedekah Nggak Harus Ikhlas" Terbitan Gramedia Group

Tuesday, January 04, 2011

Lupakan Jasa dan Kebaikan Diri



Semakin kita sering menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.
Ketahuilah bahwa semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan terkecewakan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Allah.
Selayaknya kita menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya terpilih menjadi jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat ganjarannya.
Jadi, ketika ada seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter. Maka, seberulnya bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya dokter sangat berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya. Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka selain memperlihatkan kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya (seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan rendah hati selalu bernilai tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk orang yang merugi karena tidak beroleh pahala ganjaran.
Juga, tidak selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan, mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara emosional dan proporsional kepada anak-anaknya, karena hal tersebut tidak menolong mengangkat wibawa sang ibu bahkan bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.
Percayalah bahwa kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan aeorang ibu/bapak justru akan bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik, Insya Allah. Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.
Seorang guru juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya. Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur bukan ujub dan takabur.
Perlu lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.
Andaikata ada sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir sama sekali tidak berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke arah kita pun tidak sama sekali.. andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan dengan acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir. Maka lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu saja amal pun jadi tidak berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap balasan dari makhluk.
Seharusnya yang kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini diijinkan Allah bisa mendorong mobil. Silahkan bayangkan andaikata ada mobil yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya, niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil. Atau diri ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang mogok, lalu kita akan mendorong apa?
Takdir mendorong mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan penuh dengan ketulusan niscaya Allah yang Maha Melihat akan membalasnya dengan balasan yang mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan kesulitan di perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.
Mari kita bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya. Allah SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang yang ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya.
Selamat berbahagia bagi siapapun yang paling gemar beramal dan paling cepat melupakan jasa dan kebaikan dirinya, percayalah hidup ini akan jauh lebih nikmat, lebih ringan, dan lebih indah. Insya Allah.***
sumber :andeka.co.cc

Monday, January 03, 2011

Kisah Nyata, "Perjalanan yang Jauh"

Kiriman Ustadz Fariq,
semoga bermanfaat
wass
zainal

---------- Forwarded message ----------
From: Fariq
Date: 2010/12/31
Subject: Kisah Nyata, "Perjalanan yang Jauh"




Perjalanan Yang Jauh

Nurah, saudara perempuanku nampak pucat dan kurus sekali. Tetapi seperti biasa, ia masih membaca Al-Qur'anul Karim. Tika ingin menemuinya, pergilah ke mushallanya. Di sana engkau akan mendapatinya sedang ruku', sujud dan menengadahkan ke langit. Itulah yang dilakukannya setiap pagi, sore dan di tengah malam hari. Ia tidak pernah jenuh.

Berbeda dengannya, aku selalu asyik membaca majalah-majalah seni, tenggelam dengan buku-buku cerita dan hampir tak pernah beranjak dari video. Bahkan, aku sudah identik dengan benda yang satu ini. Setiap video diputar pasti di situ ada aku. Karena 'kesibukanku' ini, banyak kewajiban yang tak bisa kuselesaikan bahkan, aku suka meninggalkan shalat. Setelah tiga jam berturut-turut menonton video di tengah malam, aku dikagetkan oleh suara adzan yang berkumandang dari masjid dekat rumahku.

Sekonyong-konyong malas menggelayuti semua persendianku, maka aku pun segera menghampiri tempat tidur. Nurah memanggilku dari mushallanya.

Dengan berat sekali, aku menyeret kaki menghampirinya. "Ada apa Nurah?," tanyaku. "Jangan tidur sebelum shalat Shubuh!", ia mengingatkan. "Ah. Shubuh kan masih satu jam lagi. Yang baru saja kan adzan pertama" Begitulah, ia selalu penuh perhatian padaku. Sering memberiku nasihat, sampai akhimya ia terbaring sakit. Ia tergeletak lemah di tempat tidur.
"Hanah!," panggilnya lagi suatu ketika. Aku tak mampu menolaknya. Suara itu begitu jujur dan polos. "Ada apa saudariku?", tanyaku pelan.
"Duduklah!" Aku menurut dan duduk di sisinya. Hening…Sejenak kemudian Nurah melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu. "Tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempumnkan pahalamu." (Al Imran: 185) Diam sebentar, lalu ia bertanya: "Apakah kamu tidak percaya adanya kematian?" "Tentu saja percaya!"
"Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu kelak akan dihisab, baik yang besar maupun yang kecil?" "Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, sementara aku masih muda, umurku masih panjang!" "Ukhti, apakah kamu tidak takut mati yang datangnya tiba-tiba? Lihatlah Hindun, dia lebih muda darimu, tetapi meninggal karena sebuah kecelakaan. Lihat pula si fulanah…Kematian tidak mengenal umur. Umur bukan ukuran bagi kematian seseorang. Aku menjawabnya penuh ketakutan.

Suasana tengah malam yang gelap mencekam, semakin menambah rasa takutku. "Aku takut dengan gelap, bagaimana engkau menakut-nakutiku lagi dengan kematian ? Di mana aku akan tidur nanti ?" Jiwa asliku yang amat penakut betul-betul tampak. Kucoba menenangkan diri aku benusaha tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan, rekreasi.
"Oh ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita pergi rekreasi bersama?", pancingku. "'Tidak, karena barangkali tahun ini aku akan pergi jauh, ke tempat yang jauh… mungkin… umur ada di tangan Allah, Hanah", ia lalu terisak. Suara itu bergetar, aku ikut hanyut dalam kesedihan. Sekejap, langsung terlintas dalam benakku tentang sakitnya yang ganas. Para dokter, secara rahasia telah mengabarkan hal itu kepada ayah.
Menurut analisa medis, para dokter sudah tak sanggup, dan itu berarti dekatnya kematian. Tetapi, siapa yang mengabarkan ini semua padanya?, atau ia memang merasa sudah datang waktunya?, "Mengapa ternenung? Apa yang engkau lamunkan?", Nurah membuyarkan lamunanku. "Apa kau mengira, hal ini kukatakan karena aku sedang sakit? Tidak. Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari umur orang-orang sehat. Dan kamu, sampai kapan akan terus hidup? Mungkin 20 tahun lagi, 40 tahun atau…Lalu apa setelah itu? Kita tidak berbeda. Kita semua pasti akan pergi, entah ke Surga atau ke Neraka. Apakah engkau belum mendengar ayat: "Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung" ( Ali Imran: 185). "Sampai besok pagi," ia menutup nasihatnya.
Aku bergegas meninggalkannya menuju kamar. Nasihatnya masih tergiang-ngiang di gendang telingaku, "Semoga Allah memberimu petunjuk, jangan lupa shalat!" Pagi hari…Jam dinding menunjukkan angka delapan pagi.Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar. "Pada jam ini biasanya aku belum mau bangun" pikirku. Tetapi di luar terdengar suara gaduh, orang banyak terisak. "Ya Rabbi, apa yang tejadi?" "Mungkin Nurah…?, "firasatku berbicara. Dan benar, Nurah pingsan, ayah segera melarikannya ke rumah sakit.

Tidak ada rekreasi tahun ini. Kami semua harus menunggui Nurah yang sedang sakit. Lama sekali menunggu kabar dari rumah sakit dengan harap-harap cemas. Tepat pukul satu siang, telepon di rumah kami berdering. Ibu segera mengangkatnya. Suara ayah di seberang, ia menelpon dari rumah sakit. "Kalian bisa pergi ke rumah sakit sekarang!," demikian pesan ayah singkat. Kata ibu, tampak sekali ayah begitu panik, nada suaranya berbeda dari biasanya. "Mana sopir…?" kami semua terburu-buru: Kami menyuruh sopir menjalankan mobil dengan cepat. Tapi ah, jalan yang biasanya terasa dekat bila aku menikmatinya dalam pejalanan liburan, kini terasa amat panj ang, panjang dan lama sekali. Jalanan macet yang biasanya kunanti-nantikan sehingga aku bisa menengok ke kanan-kiri, cuci mata, kini terasa menyebalkan. Di sampingku, ibu berdo'a untuk keselamatan Nurah. "Dia anak shalihah. Ia tidak pernah menyia-nyia kan waktunya. Ia begitu rajin beribadah", ibu bergumam sendirian.
Kami turun di depan pintu rumah sakit. Kami segera masuk ruangan. Para pasien pada tergeletak lunglai. Di sana sini terdengar lirih suara rintihan. Ada yang baru saja masuk karena kecelakaan mobil, ada yang matanya buta, ada yang mengerang keras. Pemandangan yang membuat bulu kudukku merinding. Kami naik tangga eskalator menuju lantai atas. Nurah berada di ruang perawatan intensif. Di depan pintu terpampang papan peringatan: "Tidak boleh masuk lebih dari satu orang!" Kami terperangah. Tak lama kemudian, seorang perawat datang menemui, kami. Perawat memberitahu kalau kini kondisi Nurah mulai membaik, setelah beberapa saat sebelumnya tak sadarkan diri.
Di tengah kerumunan para dokter yang merawat, dari sebuah lubang keciljendela yang ada di pintu, aku melihat kedua bola mata Nurah sedang memandangiku. Ibu yang berdiri di sampingnya tak kuat menahan air matanya. Waktu besuknya habis, ibu segera keluar dari ruang perawatan intensif. Kini tiba giliranku masuk. Dokter memperingatkan agar aku tidak banyak mengajaknya bicara. Aku diberi waktu dua menit. "Assalamu 'alaikum!, bagaimana keadaanmu Nurah?, tadi malam, engkau baik-baik saja. Apa yang terjadi denganmu?", aku menghujaninya dengan pertanyaan. "Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja, jawabnya dengan berusaha tersenyum.
"Tapi, mengapa tanganmu dingin sekali, kenapa?" aku menyelidik.
Aku duduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba betisnya, tapi ia segera menjauhkannya dari jangkauanku. "Ma'af, kalau aku mengganggumu!", aku tertunduk. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingat firman Allah Ta'ala: "Dan bertaut betis(kiri) dengan betis(kanan), kepada Tuhanmullah pada hari itu kami dihalau". (Al-Qiyamah: 29-30) Nurah melantunkan ayat suci Alquran. Aku menguattkan diri. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menangis dihadapan Nurah, aku membisu." Hanah, berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku akan menghadap. Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku diakhirat…Perjalananku amat jauh tapi bekalku sedikit sekali". Pertahananku runtuh. Air mataku tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya. Ayah mengkhawatirkan keadaanku. Sebab mereka tak pernah melihatku menangis seperti itu.


Bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada hari itu. Nurah meninggal dunia…. Suasana begitu sepat berubah. Seperti baru beberapa menit aku bebincang-bincang dengannya. Kini ia telah meninggalkan kami buat selama-selamanya. Dan, ia tak akan pernah bertemu lagi dengan kami. Tak akan pernah pulang lagi. Tidak akan bersama-sama lagi. Oh Nurah…Suasana dirumah kami digelayuti duka yang amat dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh tangisan yang mengharu biru. Sanak kerabat dan tetangga berdatangan melawat. Aku tidak bisa membedakan lagi, siapa-siapa yang datang, tidak pula apa yang mereka percakapan. Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya Allah, bagaimana dengan diriku? Apa yang bakal terjadi pada diriku? Aku tak kuasa lagi, meski sekedar menangis. Aku ingin memberinya penghormatan terakhir. Aku ingin menghantarkan salam terakhir. Aku ingin mencium keningnya. Kini, tak ada sesuatu yang kuingat seai satu hal. Aku ingat firman Allah yang dibacakannya kepadaku menjelang kematiannya. "Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan)". Aku kini benar-benar paham bahwa,"Kepada Tuhanmullah pada hari itu kamu dihalau" "Aku tidak tahu, ternyata malam itu, adalah malam terakhir aku menjumpainya di mushallanya.
Malam ini, aku sendirian di mushalla almarhumah. terbayang kembali saudara kembarku, Nurah yang demikian baik kepadaku. Dialah yang senantiasa menghibur kesedihanku, ikut memahami dn merasakan kegalauanku, saudari yang selalu mendo'akanku agar aku mendapat hidayah Allah, saudari yang senantiasa mengalirkan air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu menasihatiku tentang mati, hari perhitungan….ya Allah!

Malam ini adalah malam pertama bagi Nurah dikuburnya. Ya Allah, rahmatilah dia, terangilah kuburnya. Ya Allah, ini mushaf Nurah, …ini sajadahnya…dan ini..ini gaun merah muda yang pernah dikatakannya padaku, bakal dijadikan kenangan manis pernikahannya. Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan sia-sia. Aku menangis terus-menerus, tak bisa berhenti. Aku berdo'a kepada Allah semoga Dia merahmatiku dan menerima taubatku. Aku mendo'akan Nurah agar mendapat keteguhan dan kesenangan di kuburnya, sebagaimana ia begitu sering dan suka mendo'akanku. Tiba-tiba aku tersentak dengan pikiranku sendiri. "Apa yang terjadi jika yang meninggal adalah aku? Bagaimana kesudahanku?" Aku tak berani mencari jawabannya, ketakutanku memuncak. Aku menangis, menangis lebih keras lagi. Allahu Akbar, Allnhu Akbar…Adzan fajar berkumandang. Tetapi, duhai alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini. Aku merasakan kedamaian dan ketentraman yang mendalam. Aku jawab ucapan muadzin, lalu segera kuhamparkan lipatan sajadah, selanjutnya aku shalat Shubuh. Aku shalat seperti keadaan orang yang hendak berpisah selama-lamanya. Shalat yang pemah kusaksikan terakhir kali dari saudari kembarku Nurah.Jika tiba waktu pagi, aku tak menunggu waktu sore dan jika tiba waktu sore, aku tidak menunggu waktu pagi.

(Dari buku "Wahai Saudariku, "Apa yang menghalangimu untuk berhijab?"
Oleh: Abdul Hamid Al Bilali)