Sunday, September 07, 2008

Thareqat itu Tak Ada Pengkultusan

GELISAH, karena dirinya dianggap masyarakat sebagai bintang film biru (film porno-red) di tahun 1996 silam, membuat wanita berdarah Afganistan Ayu Azhari, kelahiran Jakarta 19 November 1971 ini harus meninggalkan Jakarta menuju Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu ia bersama suaminya, Yusuf, (30) asal Amerika dan anak-anaknya kerap menghadiri pengajian dan kegiatan berdzikir semacam istighosah di sini untuk mencari ketenangan batin di sebuah masjid, yang lama kelamaan masjid itu ternyata dipimpin oleh Syeikh Hisyam Kabbani, seorang muslim asal Pakistan yang menetap di Los Angelas Amerika.
Di tengah perenungan, berdzikir dan tentu juga shalat, tiba-tiba datang seorang pria murid Syeikh Hisyam Kabbani dan menanyakan pada suaminya: apakah sudah memiliki seorang mursyid? Dari situlah Ayu Azhari dan suami akhirnya berguru langsung kepada Syeikh Hisyam Kabbani dan belajar tentang makna dan memaknai kehidupan ini. Meski sejauh ini ia tidak mau disebut sebagai murid dari pimpinan tarekat Naqsabandiyah tersebut. Menyadari dirinya hanya baru mempelajari apa itu yang disebut tarekat ataupun tasawuf. Yang jelas, kedua orangtuanya yang berasal dari Afganistan adalah sebuah keluarga yang memiliki tradisi dzikir, istighosah dan bertarekat, adalah sebagai latarbelakang keluarga yang tidak bisa dipisahkan di tengah kegelisahan jiwa Ayu Azhari.
Ayu pada awalnya khawatir memasuki dunia tarekat itu bisa berakibat macam-macam. Seperti kata orang, jika pengikut tarekat bisa mengkultuskan seseorang (tokoh atau mursyid bersangkutan). Bahkan bisa menjadikan orang itu gila. "Tapi, ternyata tidak. Syeikh Hisyam sama sekali tidak mengajarkan pengkultusan itu. Malah mengajarkan makna dan memaknai kehidupan, seperti akan keutamaan kejujuran, ketabahan, kemanusiaan, kedamaian, ketenangan, persatuan, rendah hati dan sebagainya. Saya pun tidak gila. Mungkin yang gila itu karena tidak mempunyai mursyid,"tutur pemain Sinetron Bidadari itu.
Meski begitu, ia tetap tidak mau dibilang pengikut tarekat ataupun tasawuf. Melihat itu bagi dirinya terlalu tinggi dan dirinya baru pada tingkat belajar, simpati dan nge-fans saja. Katanya," Menurut saya semua orang mempunyai kesempatan untuk belajar, tentang apa, kapan dan di mana pun. Semua itu merupakan perjalanan hidup setiap orang. Manusia itu alamiah, natural dalam proses pencarian jati dirinya. Karena itu prinsip saya adalah berjalan saja dalam hidup ini."
Falsafah hidupnya tersebut menjadikan Ayu tidak peduli dengan penilaiain orang lain. Tentang apa saja terhadap yang digelutinya selama ini. Terutama sebagai bintang film, asal tidak merugikan orang lain, masyarakat maupun negara, dirinya akan berjalan terus. Seperti diajarkan oleh kedua orangtuanya yang aagamis sebagai pengikut Ahlus Sunnah, bahwa Ayu bercita-cita dalam hidupnya untuk menyenangkan atau membuat senang orang lain. "Seperti dalam film, bukankah saya berusaha untuk membuat orang lain senang. Juga, tidakkah agama mengajarkan agar kita mampu berbuat yang terbaik bagi orang lain dan bukannya mengajarkan kejahatan?"katanya lagi.
Dalam kaitan itu ia ingat ungkapan Syeikh Nadzim Haqqani dari Cyprus, guru Syeikh Hisyam Kabbani yang ditanya muridnya dalam bukunya, bahwa hidupnya itu untuk apa? "To please people,"jawab Nadzim. Inilah yang kemudian menjadi pegangan Ayu Azhari dalam menjalani hidupnya melalui apapun profesinya. Bisa saja orang itu senang dan terhibur sesaat bahkan sepanjang hidupnya, seperti ajaran nabi yang bermanfaat bagi manusia sampai di akhirat.
Apalagi menurut Ayu, setelah membaca berbagai buku, hati manusia itu seperti batu. Batu itu ada yang keras, ada batu kali, ada yang seperti kerikil dan pasir untuk membangun jalan aspal. Artinya, perjalanan masing-masing orang dalam hidup itu memang berbeda. Oleh sebab itu ia tidak merasa bertentangan (paradoks) di dalam hidupnya, meski di satu sisi berada pada dunia selebritis dan di sisi lain mempelajari tasawuf dan bertarekat. Karena semua itu dilihatnya sebagai sebuah proses alamiah yang kebetulan harus dilalui dan Allah akan melihat hati manusia. Bukannya yang tampak di badannya.
Untuk itu bagi diri Ayu yang terpenting adalah kejujuran dan ketulusan dalam hidup ini. Apapun profesinya. Namun, kalau dinilai paradoks, ukurannya apa? Kata Ayu,"Ukurannya, kan hati saya. Kalau ukurannya hati dan pandangan orang lain, terlebih ukuran yang dipakai adalah para syeikh, tentu saja susah. Yang penting masing-masing orang harus jujur, bahwa tekadnya dalam berbuat itu adalah kebaikan dan ketulusan."
Tekad hidupnya tersebut memang tercermin pada diri Ayu Azhari. Ibu empat orang anak ini sebelum shooting sinetron Bidadari di Jl. Sirsak 812 di kawasan Ciganjur, Jagakarsa Jakarta Selatan, pada sore hari di hari Selasa, 20 Maret 2001 lalu itu, memang tidak lupa untuk menunaikan shalat Ashar dan Maghrib. Ia pun dengan ramahnya menerima Sufi untuk sebuah wawancara sampai di Taksi yang ditumpanginya di tengah malam pukul 24.00 Wib itu harus meluncur ke kawasan Thamrin untuk suatu acara yang lain.
Selain itu rajin berpuasa sunnah seperti puasa Arafah 1421 H lalu dan telah umrah ke Makkah Al-Mukarramah.
Ayu mendirikan Yayasan Al-Azhari yang dibidani Dr KH Said Aqiel Sirajd MA di daerah Bintaro Jakarta Selatan dan membantu anak yatim di Pesantren Baitul Hamdi di Menes, Banten.
Sementara itu untuk masalah tasawuf dan tarekat, Ayu Azhari bercerita jika selain orangtua, ternyata kakek dan neneknya di Afganistan memang sudah memiliki tradisi tarekat tersebut. Karena itu buku-buku tentang tasawuf karya Syeikh Nadzim Haqqani, Syeikh Hisam Kabbani dan tentu saja buku para sufi seperti Al-Ghazali, Jalaluddin Rummi juga banyak dibaca dan dikoleksi. Menariknya, ketika Ayu sedang masak atau menemani anak-anak di rumah, Yusuf, suaminya membantu membaca dan menjelaskannya pada artis itu tentang tasawuf yang dipelajari.
Mungkin hal itu merupakan panggilan nuraninya. Karena menurut Ayu, bapaknya (Azhari) adalah seorang kutu buku yang telaten dan sabar dalam membimbing anak-anaknya ke jalan agama Allah. Bapak dan ibu selalu mengajarkan agar anaknya rajin belajar tentang apapun. Semasa kecil misalnya, orangtuanya sudah biasa membawa diri Ayu ke sebuah pengajian, istighosah di kawasan Pasar Minggu Jakarta Selatan dan sekitarnya bersama para habib dan umat Islam umumnya. "Tuntunan orangtua itulah yang kini mengingatkan kembali akan kesejukan dan kedamaian akan hidup. Karena itu, mungkin pada waktunya saya juga akan meninggalkan dunia atau karier sekarang, jika kuanggap sudah tahu dan cukup,"demikian Ayu berharap.
Ketauladanan orangtua tersebut diturunkan kepada 4 anaknya di rumah. Bahkan ketika suatu waktu Ayu menangis, karena melihat keteladanan, ketabahan dan besarnya pengorbanan perjuangan dari Nabi Muhammad saw, Ismail as, Ibrahim as, para sahabat nabi sampai pada tokoh sufi seperti Al-Hallaj dsb, anaknya ikut sedih dan bertanya: Kenapa ibu menangis? Disitulah Ayu kemudian menceritakan perjuangan para tokoh tersebut, dan kini menurut Ayu, anak-anaknya sering pula minta diceritkan akan kisah-kisah para nabi itu.
Bahwa para tokoh tersebut memiliki jiwa perjuangan yang hebat. Sejalan dengan itu ia kini sering pula bersama keluarganya ke KH Abdurrahman Ma'shum di Jl Saharjo, Casablanca, Jakarta Selatan (Masjid Baiturrahman), untuk berguru dan bertarekat, agar nilai perjuangan, makna dan memaknai hidup tersebut tertanam kepada diri anak-anaknya, seperti ia menyerapnya nilai-nilai tersebut dari orangtuanya semasa kanak-kanak. "Ketauladanan dan pendidikan orangtua yang sarat nuansa religius tersebut tanpa saya sadari sangat bermanfaat sekarang ini,"ujarnya mengakhiri perbincangan.

No comments: