Oleh  Nasaruddin Umar
Peristiwa Isra Mi'raj adalah perjalanan  spiritual Nabi Muhammad SAW dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang sangat  dramatik dan fantastik. Dalam tempo singkat-kurang dari  semalam (minal lail)-tetapi Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual  yang amat jauh bahkan hingga ke puncak (Sidratil Muntaha).
Walaupun  terjadi dalam sekejap, tetapi memori Rasulullah SAW berhasil menyalin pengalaman  spiritual yang amat padat di sana. Kalau dikumpulkan seluruh hadis Isra Mi'raj  (baik sahih maupun tidak), maka tidak cukup sehari-semalam untuk  menceritakannya. Mulai dari perjalanan horizontalnya (ke Masjid Aqsha) sampai  perjalanan vertikalnya (ke Sidratil Muntaha). Pengalaman dan pemandangan dari  langit pertama hingga langit ketujuh dan sampai ke puncak Sidratil  Muntaha.
Ada pertanyaan yang mengusik. Mengapa Allah SWT memperjalankan  hambanya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan)? "Maha Suci  Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram  ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan  kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah  Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS al-Isra [17]: 1).
Dalam bahasa  Arab kata lailah mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam,  lawan dari siang. Ada makna alegoris (majaz) seperti gelap atau kegelapan,  kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; serta ada makna anagogis (spiritual)  seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub)  kepada Allah.
Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak  digunakan makna alegoris ketimbang makna literalnya. Seperti ungkapan syair  seorang pengantin baru: "Ya lalila thul, ya shubhi qif" (wahai malam bertambah  panjanglah, wahai Subuh berhentilah). Kata lailah di dalam bait itu berarti  kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan; sebagaimana dirasakan oleh  para pengantin baru yang menyesali pendeknya malam.
Di dalam syair-syair  sufistik orang bijak (hukama) juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata  lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki  (taraqqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu  menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafii: Man thalabal ula  syahiral layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga  di waktu malam), bukan sekadar berjaga. Kata al-layali di sini berarti keakraban  dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.
Arti lailah dalam ayat pertama  surah al-Isra di atas menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek  kekuatan spiritual malam (the power of night). Kekuatan emosional-spiritual  malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat  mendalam, karena sang istri, Khadijah, dan sekaligus pelindungnya telah pergi  untuk selama-lamanya. Rasulullah memanfaatkan suasana duka di malam hari sebagai  kekuatan untuk bermunajat kepada Allah SWT.
Kesedihan dan kepasrahan yang  begitu memuncak membawa Rasulullah menembus batas-batas spiritual tertentu,  bahkan sampai pada jenjang puncak yang bernama Sidratil Muntaha. Di sanalah  Rasulullah di-install (diisi) dengan spirit luar biasa sehingga malaikat Jibril  sebagai panglima para malaikat juga tidak sanggup menembus puncak batas  spiritual tersebut.
Kehebatan malam hari juga digambarkan Tuhan di dalam  Alquran: "Dan pada sebahagian malam hari shalat Tahajudlah kalian sebagai suatu  ibadah tambahan bagi kalian: mudah-mudahan Tuhan kalian mengangkat kalian ke  tempat yang terpuji. (QS al-Isra [17]: 79).
"Mereka sedikit sekali tidur  di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)."  (QS al-Dzariyat [51]: 17).
Kata lailah dalam ketiga ayat di atas,  mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat  utama di sisi Allah SWT di malam hari.
Ayat pertama (QS al-'Alaq [96]:  1-5) di turunkan di malam hari, ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan  Muhammad SAW sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam  surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muhammad, sekaligus sebagai  Rasul menurut kalangan ulama 'Ulumul Qur'an.
Peristiwa Isra dan Mi'raj,  ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha) juga terjadi  di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf  syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari seribu bulan), bukannya siang hari  Ramadlan (nahar al-qadr).
Kecerdasan
Surah al-Isra [17] diapit  oleh dua surah yang serasi yaitu al-Nahl [16] dan al-Kahfi [18]. Surah al-Nahl  dianggap simbol kecerdasan intelektual, karena berkaitan dengan dunia keilmuan  (kisah lebah).
Surah al-Kahfi sebagai simbol surah kecerdasan spiritual,  karena berkaitan dengan cerita keyakinan dan spiritualitas (kisah Nabi Khidir  dan Nabi Musa, Ashabul Kahfi dan Dzulqarnain).
Sedangkan surah Al-Isra  sering dijadikan sebagai simbol kecerdasan emosional, karena di dalamnya  diceritakan pengaruh kematangan emosional dan prestasi puncak seorang hamba.  Itulah sebabnya, ketiga surah yang menempati pertengahan juz Alquran disebut  dengan surah tiga serangkai, yaitu surah IQ, EQ, SQ.
Keutamaan di malam  hari, juga banyak membuat anak manusia menjadi lebih sadar (insyaf) dari  perbuatan masa lalu yang kelam dan hitam. Malam hari banyak menumpahkan air mata  tobat para hamba yang menyadari akan kesalahannya. Malam hari paling tepat untuk  dijadikan momentum menentukan cita-cita luhur.
Mungkin inilah salah satu  keistimewaan pondok pesantren yang memanfaatkan malam hari untuk memperbaiki  akhlak dan budi pekerti santrinya. Sementara di sekolah-sekolah umum, jarang  sekali memanfaatkan malam hari untuk pembinaan budi pekerti. Padahal, Allah  sudah mengisyaratkan bahwa pada umumnya shalat itu ditempatkan di malam hari.  Hanya shalat Zhuhur dan Ashar di siang hari, selebihnya di malam hari (shalat  Maghrib, Isya, Tahajjud, Witir, Tarawih, Fajr, Subuh). Ini isyarat bahwa  pendekatan pribadi secara khusus kepada Tuhan lebih utama di malam  hari.
Sebenarnya peristiwa Isra-Mi'raj mempunyai dua macam peristiwa.  Pertama, perjalanan horizontal dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha. Dan kedua,  perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratil Muntaha. Perjalanan Isra  mungkin masih bisa dideteksi dengan sains dan teknologi, tetapi perjalanan  Mi'raj sama sekali di luar kemampuan otak pikiran manusia.
Perjalanan  Mi'raj ini, juga masih diperdebatkan banyak ulama, apakah dengan fisik dan roh  Rasulullah atau hanya rohaninya saja. Mayoritas ulama Suni memahami bahwa yang  diperjalankan Tuhan ke Sidratil Muntaha ialah Nabi Muhammad SAW secara utuh,  lahir dan batin. Sementara pendapat lain memahami hanya rohaninya  saja.
Yang pasti, perjalanan singkat itu berhasil merekam berbagai  pemandangan spiritual bagi Rasulullah SAW, dan hendaknya bisa dijadikan  pelajaran dan hikmah bagi umat Islam. Sebab, perjalanan malam hari itu, telah  membangkitkan semangat baru Rasulullah dalam menyebarkan dakwah  Islam.
Red: irf
http://www.republika.co.id/berita/
Kumpulan kisah-kisah teladan, Kisah nabi, Kisah Tokoh-tokoh, Kisah Nyata, Kisah dari hadist, Kisah dari Alqur'an, kisah sukses, motivasi
Friday, July 16, 2010
Menyibak Makna Spiritual Isra' Mi'raj
Label:
Kisah Nabi Muhammad SAW
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
 
No comments:
Post a Comment