Oleh :
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
Mengenai keutamaan shalat Dhuha, telah diriwayatkan beberapa hadits yang diantaranya dapat saya sebutkan sebagai berikut
Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,  beliau bersabda
 "Bagi masing-masing ruas[1] dari anggota tubuh salah seorang di antara  kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah,  setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha  Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan  mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya  dengan dua rakaat shalat Dhuha". Diriwayatkan oleh Muslim[2]
 Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma, dari Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia,  dimana Dia berfirman.
 "Wahai anak Adam, ruku'lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku  mencukupimu di akhir siang" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi[3]
 Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, dia berkata :"Tidak  ada yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah  (Awwaab)". Dan dia mengatakan, "Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang  kembali kepada Allah (Awwaabin)". Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim.  [4]
 Hukum Shalat Dhuha
Hadits-hadits terdahulu dan juga yang semisalnya menjelaskan bahwa shalat Dhuha pada waktu Dhuha (pagi hari) merupakan suatu hal yang baik lagi disukai. [5]
 Hadits-hadits terdahulu dan juga yang semisalnya menjelaskan bahwa shalat Dhuha pada waktu Dhuha (pagi hari) merupakan suatu hal yang baik lagi disukai. [5]
Selain itu, di dalam hadits-hadits tersebut juga terkandung dalil yang  menunjukkan disyariatkannya kaum muslimin untuk senantiasa mengerjakannya.  [6]
 Dan tidak ada riwayat yang menujukkan diwajibkannya shalat Dhuha
 Waktu Shalat Dhuha
Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.
 Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.
Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut.
 Adapun permulaan waktunya, telah ditunjukkan oleh hadits Abud Darda dan Abu  Dzar Radhiyallahu 'anhuma terdahulu. Letak syahidnya di dalam hadits tersebut  adalah ; "Ruku-lah untuk-Ku dari awal siang sebanyak empat rakaat".
 Demikian juga riwayat yang datang dari Anas Radhiyallahu 'anhu, dia  bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
 "Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah lalu duduk  berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat  dua raka'at [7], maka pahala shalat itu baginya seperti pahala haji dan umrah,  sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya" [8]
 Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda.
 "Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama'ah di masjid, lalu dia tetap  berada di dalamnya sehingga dia mengerjakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti  orang yang menunaikan ibadah haji atau orang yang mengerjakan umrah, sama persis  (sempurna) seperti ibadah haji dan umrahnya". Diriwayatkan oleh  Ath-Thabrani.
 Dan dalam sebuah riwayat disebutkan.
 "Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah, kemudian dia  duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit…" Diriwayatkan oleh  Ath-Thabrani.[9]
 Adapun keluarnya waktu shalat Dhuha pada waktu zawal, karena ia merupakan  shalat Dhuha (pagi).
 Sedangkan waktu utamanya telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan dari  Zaid bin Arqam, bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat  Dhuha. Lalu dia berkata "Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain pada  saat ini adalah lebih baik, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi  wa sallam telah bersabda.
 "Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika  anak-anak unta sudah merasa kepanasan"[10]. Diriwayatkan oleh Muslim [11]
 Jumlah Rakaat Shalat Dhuha Dan Sifatnya
Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua, empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.
 Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua, empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.
Jika mau, dia boleh mengerjakannya dua rakaat dua rakaat.
Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
 Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian  harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan ganjaran dua rakaat  shalat Dhuha" Diriwayatkan oleh Muslim.[12]
 Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan empat rakaat, telah ditunjukkan oleh  Abu Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi  wa sallam, dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman  :"Wahai anak Adam, ruku'lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku  akan mencukupimu di akhir siang" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. [13]
 Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits  Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu : "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam  pernah mengerjakan shalat Dhuha enam rakaat" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di  dalam kitab Asy-Syamaa-il. [14]
 Dan shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits  Ummu Hani, di mana dia bercerita :"Pada masa pembebasan kota Makkah, dia  mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas  tempat tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak  menuju tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya,  Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah  itu, beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat" [15] Diriwayatkan  Asy-Syaikhani. [16]
 Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh  hadits Abud Darda Radhiyallahu 'anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
 "Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan  termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia  tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam  rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan  delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan  patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan  membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak  juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada  hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada  seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya"  Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[17]
 Dapat saya katakan bahwa berdasarkan hadits-hadits ini, diarahkan  kemutlakan yang diberikan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha saat ditanya oleh  Mu'adzah :"Berapa rakaat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan  shalat Dhua?" Dia menjawab : "Empat rakaat dan bisa juga lebih, sesuai kehendak  Allah" [18]
 Dan shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat dua rakaat, telah ditunjukkan  oleh keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Shalat malam dan  siang itu dua rakaat dua rakaat" [19]
 Dan seorang muslim boleh mengerjakan shalat Dhuha empat rakaat secara  bersambungan, sebagaimana layaknya shalat wajib empat rakaat. Hal itu  ditunjukkan oleh kemutlakan lafazh hadits-hadits mengenai hal tersebut yang  telah disampaikan sebelumnya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa  sallam :"Ruku'lah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat". Dan juga seperti  sabda beliau :"Barangsiapa mengerjakan shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia  ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah" Wallahu a'lam
 [Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi  Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa  sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam  Asy-Syafi'i]
 ___________
Foote Note
[1]. Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya adalah as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu dipergunakan untuk seluruh tulang dan ruas badan. Lihat kitab, Syarh Muslim, An-Nawawi V/233
[2]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatut Musaafirin wa Qashruha, bab Istihbaabu Shalaatidh Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'aatani wa Akmalaha Tsamaanu Raka'aatin wa Ausathuha Arba'u Raka'aatin au Sittin wal Hatstsu 'alal Muhaafazhati 'alaiha, (hadits no. 720). Lihat juga kitab, Jami'ul Ushuul (IX/436)
[3]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/440 dan 451). Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalaah, bab Maa Jaa-a fii Shalaatidh Dhuha, (hadits no. 475)
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan : 'Hasan gharib" Dan dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi. Juga dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Shahih Sunan At-Tirmidzi, (I/147). Serta dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab, Jaami'ul Ushuul (IX/4370.
[4]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (I/314), dan lafazh di atas milik keduanya. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (II/279-Majma'ul Bahrain) tanpa ucapan :"Dan ia adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabiin)".
Dan hadits di atas dinilai shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (hadits no. 1994).
[5]. Majmuu'al Al-Fataawaa (XXII/284)
[6]. Dan inilah yang tampak, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits terdahulu. (Nailul Authaar III/77).
 Foote Note
[1]. Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya adalah as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu dipergunakan untuk seluruh tulang dan ruas badan. Lihat kitab, Syarh Muslim, An-Nawawi V/233
[2]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatut Musaafirin wa Qashruha, bab Istihbaabu Shalaatidh Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'aatani wa Akmalaha Tsamaanu Raka'aatin wa Ausathuha Arba'u Raka'aatin au Sittin wal Hatstsu 'alal Muhaafazhati 'alaiha, (hadits no. 720). Lihat juga kitab, Jami'ul Ushuul (IX/436)
[3]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/440 dan 451). Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalaah, bab Maa Jaa-a fii Shalaatidh Dhuha, (hadits no. 475)
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan : 'Hasan gharib" Dan dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi. Juga dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Shahih Sunan At-Tirmidzi, (I/147). Serta dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab, Jaami'ul Ushuul (IX/4370.
[4]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (I/314), dan lafazh di atas milik keduanya. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (II/279-Majma'ul Bahrain) tanpa ucapan :"Dan ia adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabiin)".
Dan hadits di atas dinilai shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (hadits no. 1994).
[5]. Majmuu'al Al-Fataawaa (XXII/284)
[6]. Dan inilah yang tampak, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits terdahulu. (Nailul Authaar III/77).
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menetapkan  kesepakatan para ulama tas sunnahnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam  tidak mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus, kemudian menetapkan hukum  sunnatnya, dimana dia mengatakan : "Muncul pertanyaan : 'Apakah yang lebih baik,  mengerjakan secara terus menerus ataukah tidak secara terus menerus seperti yang  dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam? Inilah di antara yang mereka  pedebatkan". Dan yang lebih tepat adalah dengan mengatakan ;"Barangsiapa  mengerjakan qiyaamul lail secara terus menerus, maka tidak perlu lagi baginya  untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Sebagaimana yang dilakukan  oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang tertidur sehingga  tidak melakukan qiyamul lail, maka shalat Dhuha bisa menjadi pengganti bagi  qiyamul lail" Majmu Al-Fataawaa (XXII/284).
Dapat saya katakan, (tetapi) lahiriyah nash menunjukkan disunnatkannya secara mutlak untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meninggalkan suatu amalan padahal beliau sangat suka untuk mengerjakannya karena beliau takut hal tersebut akan dikerjakan secara terus menerus oleh umat manusia sehingga akan diwajibkan kepada mereka. Dan inilah illat (alasan) tidak dikerjakannya shalat Dhuha secara terus menerus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan demikian, nash-nash itu secara mutlak seperti apa adanya. Hal yang serupa seperti itu telah diisyaratkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, lihat kitab Jaami'ul Ushuul (VI/108-109).
[7]. Ath-Thibi mengatakan : "Shalat ini disebut shalat Isyraq, yaitu permulaan shalat Dhuha. Dia nukil di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/405)
Dapat saya katakan, telah saya sampaikan kepada anda mengenai hal itu yang lebih luas dari sekedar isyarat ini. Lihat pembahasan tentang shalat Isyraq sebelumnya.
[8] Hadits hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalah, bab Dzikru Maa Yustahabbu minal Julus fil Masjid Ba'da Shalaatish Shubhi Hatta Taathlu'a Asy-Syams
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan :"Hasan gharib". Dengan beberapa syahidnya, hadits ini dinilai hasan oleh Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/406). Dan disepakati oleh Syaikh Akhmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi (II/481). Juga dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi (I/182). Dan dengan beberapa syahidnya, dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab Jaami'ul Ushuul (IX/401).
Dapat saya katakan, di antara syahidnya adalah hadist berikutnya.
[9]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu'jamul Kabiir (VIII/174), 181 dan 209)
Sanad hadits di atas dinilai jayyid oleh Al-Mundziri dan Al-Haitsami. Dan dinilai hasa oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wa Tarhiib (I/189). Dan lihat juga kitab, Majmu'uz Zawaa'id (X/104)
[10]. Di dalam kitab, Syarh An-Nawawi (VI/30). Imam Nawawi mengatakan : Ar-Ramdhaa' berarti kerikil yang menjadi panas oleh sinar matahari. Yaitu, ketika anak-anak unta sudah merasa panas. Al-Fushail berarti anak unta yang masih kecil". Lihat juga, Nailul Authaar (II/81)
[11]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafirin wa Qasruha, bab Shalatut Awaabiin Hiina Tarmudhil Fihsaal, hadits no. 748.
[12]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[13]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[14]. Hadits shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa'il, bab Shalatudh Dhuha, (hadits no. 273) hadits ini dinilai shahih lighairihi di dalam kitab, Mukhtashar Asy-Syamaailil Muhammadiyyah, (hal. 156). Beberapa sahid dan jalannya telah disebutkan di dalam kitab Irwaaul Ghaliil (II/216).
[15]. Di dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang mengaku bahwa shalat ini adalah shalat al-fath (pembebasan), bukan shalat Dhuha. Lihat kitab, Zaadul Ma'ad (III/4100 dan juga Aunul Ma'buud (I/497)
[16]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam beberapa tempat di antaranya : Kitaabut Tahajjud, bab Shalaatudh Dhuhaa fis Safar (hadits no. 1176). Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Haidh, bab Tasturuk Mughtasil bi Tsaubin au Nahwahu (hadits no. 336). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan lihat juga kitab Jaami'ul Ushuul (VI/110).
[17]. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma'uz Zawaa'id (II/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya'qub Az-Zam'i. Dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu'in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha'if oleh Ibnul Madini dan lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.
Dapat saya katakan, Musa bin Ya'qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam kitab At-Targhiib. Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu 'anhuma dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (I/279).
[18]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalatul Musafirin wa Qasruha, bab Istihbaabu Shaalatid Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'ataani wa Akmalaha Tsamaanu Rak'atin wa Ausathuha Arba'u Rak'atin au Sittin wa Hatstsu 'alal Muhaafazhati Alaiha, (hadits no. 719).
[19]. Hadits shahih. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya
Peringatan.
Ada sebuah riwayat untuk hadits Ummu Hani terdahulu dengan lafazh : "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam pernah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat'. Dan hadits Ummu Hani asalnya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain, tetapi tidak dengan lafazh ini.
Dan diriwayatkan oleh Abud Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Shalatudh Dhuha (hadits no. 1234, II/234).
Dan dalam sanad yang ada pada keduanya terdapat Iyadh bin Abdillah. Yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Wahb. Mengenai pribadi Iyadh ini. Abu Hatim mengatakan :"Dia bukan seorang yang kuat". Dan Ibnu Hibban menyebutnya di dalam deretan tsiqat. As-Saaji mengatakan : "Darinya, Wahb bin Abdillah meriwayatkan beberapa hadits yang di dalamnya masih mengandung pertimbangan". Yahya bin Ma'in mengatakan :"Dia seorang yang haditsnya dha'if". Abu Shalih mengatakan ;"Ditegaskan, dia memiliki kesibukan yang luar biasa di Madinah, di dalam haditsnya terdapat sesuatu" Al-Bukhari mengatakan : "Haditsnya munkar" Tahdziibut Tahdziib (VIII/201).
 Dapat saya katakan, (tetapi) lahiriyah nash menunjukkan disunnatkannya secara mutlak untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meninggalkan suatu amalan padahal beliau sangat suka untuk mengerjakannya karena beliau takut hal tersebut akan dikerjakan secara terus menerus oleh umat manusia sehingga akan diwajibkan kepada mereka. Dan inilah illat (alasan) tidak dikerjakannya shalat Dhuha secara terus menerus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan demikian, nash-nash itu secara mutlak seperti apa adanya. Hal yang serupa seperti itu telah diisyaratkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, lihat kitab Jaami'ul Ushuul (VI/108-109).
[7]. Ath-Thibi mengatakan : "Shalat ini disebut shalat Isyraq, yaitu permulaan shalat Dhuha. Dia nukil di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/405)
Dapat saya katakan, telah saya sampaikan kepada anda mengenai hal itu yang lebih luas dari sekedar isyarat ini. Lihat pembahasan tentang shalat Isyraq sebelumnya.
[8] Hadits hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalah, bab Dzikru Maa Yustahabbu minal Julus fil Masjid Ba'da Shalaatish Shubhi Hatta Taathlu'a Asy-Syams
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan :"Hasan gharib". Dengan beberapa syahidnya, hadits ini dinilai hasan oleh Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/406). Dan disepakati oleh Syaikh Akhmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi (II/481). Juga dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi (I/182). Dan dengan beberapa syahidnya, dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab Jaami'ul Ushuul (IX/401).
Dapat saya katakan, di antara syahidnya adalah hadist berikutnya.
[9]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu'jamul Kabiir (VIII/174), 181 dan 209)
Sanad hadits di atas dinilai jayyid oleh Al-Mundziri dan Al-Haitsami. Dan dinilai hasa oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wa Tarhiib (I/189). Dan lihat juga kitab, Majmu'uz Zawaa'id (X/104)
[10]. Di dalam kitab, Syarh An-Nawawi (VI/30). Imam Nawawi mengatakan : Ar-Ramdhaa' berarti kerikil yang menjadi panas oleh sinar matahari. Yaitu, ketika anak-anak unta sudah merasa panas. Al-Fushail berarti anak unta yang masih kecil". Lihat juga, Nailul Authaar (II/81)
[11]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafirin wa Qasruha, bab Shalatut Awaabiin Hiina Tarmudhil Fihsaal, hadits no. 748.
[12]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[13]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[14]. Hadits shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa'il, bab Shalatudh Dhuha, (hadits no. 273) hadits ini dinilai shahih lighairihi di dalam kitab, Mukhtashar Asy-Syamaailil Muhammadiyyah, (hal. 156). Beberapa sahid dan jalannya telah disebutkan di dalam kitab Irwaaul Ghaliil (II/216).
[15]. Di dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang mengaku bahwa shalat ini adalah shalat al-fath (pembebasan), bukan shalat Dhuha. Lihat kitab, Zaadul Ma'ad (III/4100 dan juga Aunul Ma'buud (I/497)
[16]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam beberapa tempat di antaranya : Kitaabut Tahajjud, bab Shalaatudh Dhuhaa fis Safar (hadits no. 1176). Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Haidh, bab Tasturuk Mughtasil bi Tsaubin au Nahwahu (hadits no. 336). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan lihat juga kitab Jaami'ul Ushuul (VI/110).
[17]. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma'uz Zawaa'id (II/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya'qub Az-Zam'i. Dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu'in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha'if oleh Ibnul Madini dan lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.
Dapat saya katakan, Musa bin Ya'qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam kitab At-Targhiib. Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu 'anhuma dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (I/279).
[18]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalatul Musafirin wa Qasruha, bab Istihbaabu Shaalatid Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'ataani wa Akmalaha Tsamaanu Rak'atin wa Ausathuha Arba'u Rak'atin au Sittin wa Hatstsu 'alal Muhaafazhati Alaiha, (hadits no. 719).
[19]. Hadits shahih. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya
Peringatan.
Ada sebuah riwayat untuk hadits Ummu Hani terdahulu dengan lafazh : "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam pernah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat'. Dan hadits Ummu Hani asalnya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain, tetapi tidak dengan lafazh ini.
Dan diriwayatkan oleh Abud Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Shalatudh Dhuha (hadits no. 1234, II/234).
Dan dalam sanad yang ada pada keduanya terdapat Iyadh bin Abdillah. Yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Wahb. Mengenai pribadi Iyadh ini. Abu Hatim mengatakan :"Dia bukan seorang yang kuat". Dan Ibnu Hibban menyebutnya di dalam deretan tsiqat. As-Saaji mengatakan : "Darinya, Wahb bin Abdillah meriwayatkan beberapa hadits yang di dalamnya masih mengandung pertimbangan". Yahya bin Ma'in mengatakan :"Dia seorang yang haditsnya dha'if". Abu Shalih mengatakan ;"Ditegaskan, dia memiliki kesibukan yang luar biasa di Madinah, di dalam haditsnya terdapat sesuatu" Al-Bukhari mengatakan : "Haditsnya munkar" Tahdziibut Tahdziib (VIII/201).
Dapat saya katakan, haditsnya di sini diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, darinya.  Yang tampak secara lahiriyah dari keadaan orang ini, bahwa dia tidak  dimungkinkan untuk meriwayatkan seorang diri, sedangkan lafazh ini dia  riwayatkan sendiri. Wallahu a'lam
Dengan lafazh ini, hadits ini dinilai dha'if (lemah) oleh Al-Albani di dalam komentarnya terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah (II/234). Dalam penjelasannya, dia menguraikan secara rinci illatnya di dalam kitab. Tamamul Minnah (hal. 258-259)
 Dengan lafazh ini, hadits ini dinilai dha'if (lemah) oleh Al-Albani di dalam komentarnya terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah (II/234). Dalam penjelasannya, dia menguraikan secara rinci illatnya di dalam kitab. Tamamul Minnah (hal. 258-259)
sumber  :http://www.almanhaj.or.id/content/2357/slash/0
 
1 comment:
'afwan,ana izin copy ya,insya Alah alamat blog nya ana cantumkan,syukran jzk
Post a Comment